Perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor berlangsung meriah. Nuansa Cap Go Meh tak melulu pentas atraksi etnis Tionghoa, tapi sudah berbaur dengan atraksi kesenian nusantara.

Sabtu siang 8 Februari 2020, Jl Suryakencana, Bogor, dipadati pengunjung. Bahkan kemacetan sudah dirasakan dari pintu keluar tol Jagorawi. Karena sepanjang Jl Otto Iskandardinata, hanya diberlakukan 2 jalur, dari 3 jalur yang seharusnya. Itupun perjalanan lambat karena banyak orang menyeberang jalan.

Ya, hari Sabtu itu Jl Suryakencana yang berada di sebelah kiri jalan protokol, Jl Otto Iskandardinata itu menjadi pusat acara Bogor Street Festival Cap Go Meh (CGM) 2020. Para pengunjung, sudah memadati daerah itu sejak pukul 12.30 WIB. Sebagian dari mereka rela berdiri mematung di pinggir pagar, dan ada pula yang berdesak-desakan mencari tempat nyaman di sepanjang jalan dari Lawang Suryakencana hingga ujung Jl Siliwangi, Kota Bogor itu. Acara ini dipusatkan di Vihara Hok tek Bio atau Vihara Dhanagun.

Geliat acara baru terlihat sekitar pukul 15.30 WIB, saat para pejabat pada berdatangan menduduki podium kehormatan. Iring-iringan ondel-ondel, pawai pakaian adat 34 provinsi, marching band, grup kesenian dari Purwakarta, dan sejumlah grup kesenian lain mulai memasuki Jl Suryakencana. Ada sekitar 40 sanggar yang terlibat dalam rangkaian acara dari seluruh nusantara, selain Jawa Barat adalah Jawa Timur, Makassar, Aceh, NTT, hingga Papua.

Sekitar pukul 16.00 WIB acara baru dimulai. Enam pemuka agama di Indonesia membuka acara Bogor Street Festival Cap Go Meh 2020 dengan pembacaan doa. Pembukaan acara ini juga dihadiri pejabat pemerintahan, di antaranya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.

Ketua Panitia Bogor Street Festival CGM 2020 Arifin Himawan mengatakan, acara itu telah berlangsung selama 19 tahun, dan menjadi pembeda dengan kota lainnya, yaitu mengusung persatuan dan kebudayaan. Yang membedakan perayaan Cap Go Meh di Bogor adalah keterlibatan grup kesenian nusantara lainnya.

“Tema besar kita setiap tahunnya adalah Ajang Budaya Pemersatu Bangsa, selama 19 tahun Kota Bogor menunjukkan acara kita berbeda, yaitu lebih mengusung persatuan dan kesatuan dalam budaya,” kata Arifin dalam sambutannya.

Sementara itu, jumlah orang yang ikut berpartisipasi dalam acara ini yaitu 7.450 orang. Arifin juga menekankan agar acara ini bermanfaat bagi pembangunan budaya timur yang harus semakin diperkuat. “Semoga dengan tema Looking Eastward kita lebih memandang timur. Budaya timur harus kita bangun dan perkuat. Kita kiblat ke timur dan kita harus wariskan budaya ini ke generasi mendatang,” harapnya.

Sementara itu, Menteri Wishnutama juga menyambut baik acara tersebut. Menurutnya, acara itu membuktikan Kota Bogor bisa melihat perbedaan sebagai contoh yang baik. “Kota Bogor betul-betul menunjukkan dan sangat terlihat menghargai perbedaan. Hal ini terbukti dari rangkaian acara ini yang sudah berjalan 19 tahun,” katanya.

Selain itu, lewat acara itu dia juga mengajak masyarakat untuk melihat perbedaan sebagai suatu yang indah. Ia juga mengatakan agar siapapun pengunjung yang melihat acara ini bisa lebih belajar menghargai perbedaan.

Acara berlangsung hingga pukul 23.00 WIB di Jl Suryakencana. Pengunjung dapat menyaksikan beragam pawai menarik sepanjang jalan itu hingga Jl Siliwangi. Sepanjang sisi kiri dan kanan jalan juga terdapat pedagang pernak-pernik imlek.

Acara semakin ramai ketika barongsai dan liong mulai beraksi. Kelompok barongsai yang tampil berasal dari Bogor, dan beberapa kota sekitarnya, seperti Cianjur dan Sukabumi. Pengunjung rata-rata menunggu kehadiran barongsai dan liong yang menjadi ciri khas perayaan, baik saat Imlek maupun Cap Go Meh. Pengunjung memasukkan angpau ke dalam mulut Liong. Setelah acara pertunjukan barongsai, ada beberapa warga yang duduk-duduk santai sembari menonton aksi permainan gitar solo dari Adolfo Timuat Toyoda.

Cap Go Meh merupakan hari penting bagi sebagian besar masyarakat Hokkien. Di Indonesia, perayaan Cap Go Meh paling semarak dirayakan di Bogor, Singkawang, Palembang, dan Pontianak. Di daerah itu, masyarakatnya kebanyakan adalah keturunan Tionghoa. Di Tionghoa, festival ini sebenarnya disebut Festival Lentera.

Kata “chap goh” dalam Hokkien berarti lima belas dan “meh” berarti malam. Namanya mengacu pada fakta bahwa Cap Go Meh dirayakan pada tanggal 15 dan hari terakhir Tahun Baru China. Ada mitos lama yang diceritakan tentang hari Cap Go Meh, yang berlatar di sekitar Kaisar Giok, tokoh sentral agama masyarakat Tiongkok.

Ada salah satu cerita yang melegenda, ketika hewan peliharaan kaisar dibunuh oleh penduduk desa. Peristiwa itu menjadikan kaisar marah dan merencanakan untuk menghancurkan desa pada tanggal 15, tahun lunar. Nah, untuk menyelamatkan diri, penduduk desa disarankan menggantung lentera merah dan menyalakan petasan agar terlihat seperti desa telah dibakar. Dan benar, Kaisar Langit tertipu, sehingga membiarkan desa itu tak tersentuh. Sejak saat itulah, orang-orang merayakan hari ke-15 Tahun Baru China dengan parade lentera dan petasan.

Bentuk dari perayaan Cap Go Meh sendiri berupa sebuah parade atau pawai. Oleh karena itu, seringkali pula perayaan ini disebut sebagai festival atau karnaval. Festival ini merupakan penutup dari berbagai kegiatan perayaan Tahun Baru Imlek. Setelah perayaan ini, seluruh kegiatan terkait pergantian kalendar etnis Tionghoa dianggap selesai.

Ciri khas dari festival ini adalah adanya tarian naga (liong) dan singa (sai), toapekong, dan juga tentu saja lampion. Meskipun demikian, di beberapa negara, di mana terdapat masyarakat Tionghoa, ada ciri khas tersendiri yang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Perhelatan Cap Go Meh sendiri memiliki beberapa nama. Di Indonesia dikenal Cap Go Meh, tetapi di negara asalnya dikenal sebagai Festival Yuanxiao. Di beberapa negara lain, termasuk di negara barat disebut sebagai Festival Lampion.

Kapan Cap Go Meh dirayakan di Bogor? Sebuah foto yang disimpan di Universitas Leiden, Belanda, menunjukkan pada 1910, terjadi perayaan hari ke-15 kalendar Imlek yang digelar di Kota Bogor. Tapi mungkin itu bukan yang pertama kali.

Keberadaan masyarakat Tionghoa di kota ini sudah ada sejak 2 abad sebelumnya. Berbagai monumen membuktikan tentang hal tersebut. Beberapa vihara atau klenteng di Bogor sudah berusia tua. Vihara Hok Tek Bio atau Mahacetya Dhanagun di Jl Suryakencana, sudah berusia 300 tahun. Klenteng Hok Tek Bio Ciampea sudah 250 tahun, Klenteng Bio Dewa Rejeki Sentul bahkan berumur 400 tahun.

Imlek sempat dilarang. Bahkan sejak rezim Orde Baru, larangan menggelar acara di ruang publik diberlakukan bagi seluruh kegiatan keagamaan dan kebudayaan etnis Tionghoa. Pada 1999, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid menghapus aturan itu, yang tertuang dalam bentuk Inpres. Sejak saat itulah perayaan hari besar Tionghoa itu bisa berlangsung hingga sekarang.

sumber : indonesia.go.id

admincgmfest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *