“Kami akan terus memperkenalkan keberagaman ini sebagai sebuah kekayaan dan keindahan”

Selarik kalimat di atas saya kutip dari Ian, koordinator komunitas Bogor Historical Walk yang mengadakan Jejak Naga di Suryakancana. Jalan-jalan Mengupas Cerita Pecinan di Bogor yang diselenggarakan hari ini, Sabtu pagi, 18 Januari 2020.

Kata orang bijak, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah diatur oleh yang Maha Kuasa.

Begitu juga dengan pengalaman saya hari ini. Sembari menunggu tour Jejak Naga dimulai, secara tidak sengaja, saya bertemu dengan sahabat lama saya sewaktu bekerja di stasiun televisi JAKTV, Yudi Ramdhan. Sekarang dia bekerja di Commuter Line Indonesia (KAI) sebagai Humas. Pagi ini rupanya dia sedang mengkoordinasikan rekan-rekannya sesama dari KAI untuk membersihkan Vihara Dhanagun. Jika Natal menjelang mereka akan melakukan hal yang sama terhadap gereja. Begitu ceritanya ke saya.

Saya kaget melihat sahabat saya itu dan anak buahnya berjibaku membersihkan bagian dalam vihara. Mereka rata-rata remaja. Ada yg menyapu lantai, melap tiang yang dililit patung naga.

Salah satunya, perempuan muda berkerudung, sangat tekun membersihakn mulut naga. Sementara temannya yang lain, juga berkerudung, sedang melap guci tembaga kuningan. Tempat biasanya para pendaras doa menancapkan batang hio. Pagi ini guci itu kosong. Karena bersamaan dengan kegiatan ayak abu . Kegiatan membersihkan guci yang dilakukan tiap imlek menjelang. Abu yang sudah memenuhi guci itu akan dibersihkan melalui pengayakan. Salah satu ritual yang menarik. Konon kabarnya, mereka yang terlibat dalam kegiatan mengayak abu ini, harus puasa layaknya vegetarian. Kalau bukan vegetarian, paling tidak beberapa hari menjelang ayak abu harus melakukan ritual vegetarian.

Peserta Jejak Naga di Suryakancana pagi ini sangat beragam. Mulai dari bayi berumur beberapa bulan, anak anak setingkat SD dan SMP, hingga kakek dan nenek. Mereka secara tidak sengaja diajak melihat keberagaman dan keindahan sebagai sebuah kekayaan. Rombongan di bagi dua. Rombongan Anak2 dan rombongan orang tua. Guide menjelaskan secara garis besarnya mengenai riwayat Vihara Dhanagun, hingga kelenteng paling tua di Bogor yang berada di Pulo Geulis. Semua peserta tekun mendengarkannya. Anak-anak pun tidak ada yang rewel.

Saya jadi teringat kata-kata almarhum Jaduk Ferianto ketika bertemu dengannya di Festival Lima Gunung, di Magelang tahun 2017. Festival Lima Gunung adalah sebuah pergelaran seni (tari terutama, dan nanyian/tembang) yang digagas oleh seniman Sutanto Mendut. Festival ini selalu diadakan di pelosok desa di kaki gunung sekitar Magelang dan Jogja. Memerlukan effort khusus untuk mencapai lokasi pergelaran. Tapi akan terobati ketika sudah sampai.

Menampilkan ratusan seniman. Baik lokal maupun nasional. Selama hampir dua hari nonstop. Penontonnya sangat beragam. Acara ini bahkan sudah terkenal ke seluruh dunia. Sudah menjadi agenda rutin turis mancanegara jika berkunjung ke Jogja di awal bulan Juli.

“Sesungguhnya mas, panitia ini telah melakukan investasi kebudayaan yang sangat dahsyat melalui berkesenian. Anak-anak kecil di kampung ini sudah menikmati indahnya keberagaman dan kekayaan negeri ini dengan gembira melalui seni. Dengan begitu mereka terbiasa melihat perbedaan. Inilah suatu investasi yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Investasi kebudayaan, ” ujar almarhum saat itu.

Jika sedari kecil mereka sudah terbiasa melihat keberagaman, maka setelah dewasa mereka akan menghargai orang yg berbeda pandangan dengan dia. Selama pertunjukan itu, almarhum nyerocos terus ke saya.

Ngajogjazz dan Pasar Keroncong adalah karya almarhum. Ngajogjazz diadakan selalu di pelosok desa di Jogja. Sementara Pasar Keroncong digelar di Pasar Gede, Kotagede.

Kalimat yang hampir sama saya dengarkan juga pada talkshow yang di gagas oleh Panita CGM sore harinya di hari yang sama, bersama Andi F Noya di acara Kick Andi. Tapi dalam bentuk yang lebih bermakna buat kita semua.

Setelah video Cap Go Meh tahun lalu di putar, salah satu nara sumber (Peace Gen.) berujar: “saya merinding melihat video barusan, begitu beragam dan indahnya pergelaran di Cap Go Meh. Keindahan itu adalah bahagian dari fitrah. Tuhan itu maha indah dan mencintai keindahan. Jadi jika kita mencintai keindahan acara di video tadi, maka itu sama artinya dengan kita mencintai Tuhan

Sedangkan Yenny Wahid di acara yang sama kurang lebih
mengatakan, bahwa Tuhan itu sendiri sangat mencintai keberagaman. Dia ciptakan kita berbangsa-bangsa, supaya kitabdapat mengambil pelajaran dari sana. Jadi jika kita mencintai keberagaman, berarti kita mencintai Tuhan

Ya, tidak ada yang kebetulan dalam perjalanan saya hari ini. Sungguh sangat bermakna sekali.

Bertemu sahabat lama saya yang mencintai keberagaman melalui aktivitasnya dengan membersihkan Vihara Dhanagun.

Mengiringi kelompok anak muda “Bogor Historical Walk” yang menggaungkan keberagaman sebagai sebuah kekayaan dan keindahan…

Serta pernyataan dari Yenny Wahid dan Peace Gen di atas.

Sama halnya dengan Festival Lima Gunung, Panitia Cap Go Meh Bogor, secara tidak langsung telah melakukan investasi kebudayaan dalam bentuk yang lebih luas lagi. Melalui keberagaman dan keindahaan sebagai sebuah kekayaan.

Yuuk…tanggal 8 Pebruari nanti, seperti yang disampaikan oleh Ketua Panitia Arifin Himawan, kita ajak bapak, ibu, kaka, adek, om, tante, uwak, kakek dan nenek untuk menyaksikan salah satu kekayaan yang kita miliki: Cap Go Meh, Ajang Budaya Pemersatu Bangsa

Ichay Taher
Bogor, 18 Januari 2020

admincgmfest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *